Postingan

Sebuah catatan: Gamsungi (bagian II)

Oleh : Wawan Ilyas Karena pertumbuhan ciri kehidupan urban, pertautan interaksi manusia, barang dan jasa semakin meningkat di Gamsungi, selain aktivitas jual beli juga terdapat di pasar desa tetangga, Rawajaya. Per-Juni 2022, desa Gamsungi memiliki luas wilayah 30 Ha memuat populasi 8856 jiwa, terdiri dari 1218 orang bergerak di sektor swasta dan 306 orang sebagai pedagang (Profil Desa Gamsungi, 2022). Secara sosiologis, peningkatan ciri urban di Gamsungi di satu sisi memberi pengaruh signifikan bagi keberlangsungan mata pencaharian seperti Petani dan Nelayan. Kalau tipe-tipe non-pertanian telah menemukan ruang perkembangannya pada suatu desa, tak menutup kemungkinan terbukanya saluran "involusi", layaknya ditemukan Clifford Geertz di Jawa Timur.  Pada masyarakat yang demikian, orang-orang akan bertahan (survival), menerapkan pola "shared poverty", atau kemiskinan ditanggung secara bersama. Orang jadinya merasa bersama satu sama lain. Kira-kira begini simulasinya; K...

Bahagia itu Menyakitkan : Membaca Politik Pendisiplinan Negara

Gambar
Wawan Ilyas Pemuda Pulau Hiri   Maluku Utara kembali meraih “prestasi dalam angka”. Pada tanggal 27 Desember 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional merilis Indeks Kebahagiaan (IK) provinsi di Indonesia. Maluku Utara berhasil memuncaki klasemen tahun kemarin ( www.bps.co.id , 2021). Lima tahun sebelumnya, IK 2017 membawa provinsi ini pada capaian yang sama. Ada hal mengejutkan sekaligus bermasalah yang perlu dibaca dari data statistik.  Secara nasional, Indonesia Timur diangkakan paling bahagia. Terlihat dari 10 besar provinsi bahagia tahun 2021, tidak satu pun yang terletak di Pulau Jawa yang merupakan pusat pendidikan, kesehatan dan kemajuan ekonomi Indonesia di bagian barat. Dalam 10 besar itu juga,  tercatat tujuh provinsi di Indonesia Timur,[1] yang justru terkenal daerah terluar, termiskin dan tertinggal karena kesenjangan pembangunan Indonesia. Data statistik macam ini butuh didemonstrasikan pada lokus yang lebih faktual. Beberapa waktu setelah pemerintah mengel...

Redefenisi Identitas Tionghoa di Ketandan Yogyakarta[1]

Gambar
Gurindra Budi Prasetyo, Mahyudin Almandari Muhammad, Wawan Ilyas Sumber Gambar: Google. Get Lost ID) LATAR BELAKANG Membicarakan kedudukan etnis Tionghoa (Cina) sama halnya menceritakan sejarah perekonomian masyarakat Indonesia hingga pada masa yang jauh sebelum berdirinya NKRI sebagai negara yang berdaulat. Betapa tidak, ketika Indonesia masih disebut Hindia Belanda, etnis Cina menjadi elemen penting bagi kita untuk memahami dinamika perkembangan ekonomi pada masa yang bersejarah. Buku rujukan paling awal tentang masyarakat majemuk karena itu, tidak melepaskan keberadaan kelompok Cina dalam sejarah polarisasinya bersama bangsa ini (Furnival, 2009: 48-51).  Suatu gerak dinamis dalam kehidupan bangsa berbeda suku, etnis dan agama, yang demikian terdapat pula etnis Tionghoa dalam peranannya sebagai salah satu etnis penentu ekonomi (Vlekke, 2010). Keterlibatan dalam sejarah dan relasi sampai sekarang membuat warga Tionghoa tidak boleh dianggap remeh. Apalagi dengan posisi minoritasnya...