Sebuah catatan: Gamsungi (bagian II)
Oleh : Wawan Ilyas
Karena pertumbuhan ciri kehidupan urban, pertautan interaksi manusia, barang dan jasa semakin meningkat di Gamsungi, selain aktivitas jual beli juga terdapat di pasar desa tetangga, Rawajaya. Per-Juni 2022, desa Gamsungi memiliki luas wilayah 30 Ha memuat populasi 8856 jiwa, terdiri dari 1218 orang bergerak di sektor swasta dan 306 orang sebagai pedagang (Profil Desa Gamsungi, 2022).
Secara sosiologis, peningkatan ciri urban di Gamsungi di satu sisi memberi pengaruh signifikan bagi keberlangsungan mata pencaharian seperti Petani dan Nelayan. Kalau tipe-tipe non-pertanian telah menemukan ruang perkembangannya pada suatu desa, tak menutup kemungkinan terbukanya saluran "involusi", layaknya ditemukan Clifford Geertz di Jawa Timur.
Pada masyarakat yang demikian, orang-orang akan bertahan (survival), menerapkan pola "shared poverty", atau kemiskinan ditanggung secara bersama. Orang jadinya merasa bersama satu sama lain. Kira-kira begini simulasinya; Kalau "mereka" makan kasbi dan pisang dalam sebulan, "saya" atau "kita" tidak harus makan ayam lalap selama itu juga. Semua butuh sama rasa, karena kehilangan/pengurangan sumber pencaharian akibat transformasi tertentu adalah tanggungjawab bersama menghadapinya.
Saya belum ingin berkesimpulan terkait adanya sistem sosial-ekonomi pertanian itu yang sekarang diberlakukan oleh 256 orang pekebun/petani di Gamsungi, dengan sebaran klasifikasi tanaman tahunan seperti pala, cengkeh dan kelapa, selain mereka yang bergerak di holtikultura. Namun realistis, kalau peta pengurangan sumber ekonomi pertanian merupakan konsekuensi logis dari perluasan swasta dan dagang kota-kota pelabuhah. Sekarang kita alihkan makna pameo bahwa "Tobelo adalah Manado Kedua", bukan karena "kandungan agama" dan life style yang memungkinkan peredaran bebas miras dan sebagainya seperti di Manado, melainkan bertransformasi ke dalam ruang-ruang pertumbuhan ekonomi yang disinggung di atas.
Tercatat, nelayan di Gamsungi tersisa 25 orang. Dan kalau dibaca konteks geografi, kebertahanan ini cenderung lebih besar ke kompleks Dufa-Dufa, yang letak pemukiman lebih dekat dengan bibir pantai. Rumah-rumah panggung atas laut yang saya amati 2008, kini masih eksis, bahkan ada penambahan jumlah hingga kualitas konstruksinya. Bangunan bawah (tiang penyangga) kebanyakan berbahan semen, dan ke atasnya menggunakan kayu (papan). Ada rumah di darat, ada juga di atas laut. Sekitar tiga tambatan perahu berupa dermaga kayu masih berfungsi, selain dermaga speadboat jurusan Tobelo-Morotai berada tepat di pesisir "Angin Mamiri," dekat pelabuhan bongkar-muat Tobelo.
Rupanya, walaupun pemukiman awal Gamsungi (lihat indikator foto tahun 46) tersebar di pesisir (sekarang kompleks dufa-dufa dan kampong cina), tetapi nelayan bukanlah profesi bawaan sejak eksodus dari Gamhoku. Secara kultural, dikuatkan pula dengan keberadaan desa Gura di sebelah Utara. Gura dalam kata lokal artinya kebun.
Jadi, orang-orang Gamsungi bercerita awalnya mereka lebih cenderung berkebun dari pada melaut. Lokasi tempat mereka bercocok tanam dulu tepatnya di desa Gura saat ini, dan sebagian lahan di wilayah bagian barat desa Gamsungi. Pun, dalam narasi kosmologi perempuan Maluku, melaut bukanlah identik perempuan Tobelo. Apalagi pada komunitas suku Boeng. Jumlah 25 nelayan dan 206 petani adalah "simbol" masa sekarang, yang di sisi lainnya menambah "kekhawatiran" baru, sebab ada 4748 jiwa dalam kategori pemerintah "belum bekerja." Dunia terus berubah, mobilitas manusia makin padat, dan lapangan kerja makin sulit. Apa tugas pemerintah masa depan?
Pemetaan ini bermaksud membaca Gamsungi pada perkembangannya sebagai "miniatur" untuk melihat campur-baur antar komunitas asli Tobelo dan pendatang/saudagar. Kampung awal tempat dibangunnya pelabuhan laut, jalan raya, dan pusat-pusat keramaian, termasuk pusat ibadah, telah membuka ruang interaksi manusia pelbagai suku bangsa datang dan membentuk pola kehidupan ekonomis, dan juga politik. Barangkali, itu juga alasan historikal mengapa "Hibualamo" sebagai lembaga/pranata sosial yang mewadahi keberagaman masyarakat Tobelo berlokasi di Gamsungi, tidak di desa lain.
Lembaga Budaya dan Pemukiman Multikultur
Dalam buku "The History of Manners," Norbert Ellias menceritakan tatakrama dan nilai-nilai sosial selalu berganti disetiap zamannya. Suatu sikap yang dianggap menjijikkan atau tidak sopan pada suatu masa, bisa berubah nilainya dan dianggap biasa-biasa saja pada masa yang lain. Ia mencontohkan dulu di Eropa kalau seseorang makan dan sisa makanan yang tercicipi (tulang ikan/ayam/sebagaimanya) diletakkan lagi ke dalam piring, tindakan itu dianggap sangat menjijikkan. Tetapi lambat laun, perilaku ini tidak lagi dinilai sebagai menjijikkan dan biasa-biasa saja secara sosial.
Perubahan sudut pandang atas suatu tatakrama sosial tak terpisahkan dari intervensi nilai-nilai dari luar. Elias menyebutnya proses "detachemen" dan penerimaan nilai-nilai luar untuk jangka waktu lama tanpa perlawanan sadar disebutnya "involvemen" dan "prosesual." Bersama karya berikutnya, "The Civilization Process", Elias bisa dipakai untuk mendedah dimensi prosesual dan transformasi orang-orang Gamsungi (Tobelo) dibawah lembaga Hibualamo. Mereka terpapar "intervensi luar" ke dalam tubuh sosial, politik dan budaya.
Menurut informan kepada saya, pembentukan dan penanaman nilai-nilai Hibualamo tak terpisahkan dari intervensi Kesultanan Ternate, meski para aktor penggeraknya dari tokoh lokal seperti Mamulati dan lain-lain (percakapan dengan Bapak Aji Deni via Whatsaap, akhir Agustus 2022). Berarti ada "involvemen" berupa penerimaan, dan "prosesual" sebagai realisasi berabad-abad kebudayaan di sana.
Awalnya orang Boeng sulit dipengaruhi. Namun kekuatan luar ini masuk di Tobelo melalui perkawinan seorang tokoh kesultanan dengan perempuan Boeng. Bagi orang Boeng, menikah dengan gadis mereka merupakan "penghargaan", karena komunitas ini "mengistimewakan" perempuan di posisi strata sosial, bukan laki-laki (Wawancara pak Rusmin di Dufa-Dufa, Agustus 2022). Perkawinan itu termasuk langkah politik pada zamannya, lalu kemudian dibangunlah satu persatuan politik kebudayaan di bawah panji Hibualamo. Maka, Hibualamo selain berdimensi adat dan budaya, juga bersifat politis sebagai sistem kontrol dan diseminasi tatakrama sosial, politik dan budaya.
Dalam politik modern, kepemimpinan Hein Namotemo sebagi Bupati Halmahera Utara dapat diterjemahkan pada konteks bagaimana beliau memfungsikan Hibualamo di ranah politik, tetapi juga menghidupkannya secara adat dan budaya (Wawancara pak Maujud di Jalan Baru, Agustus 2022). Sekarang kalau menyebut Hibualamo, orang Gamsungi lebih cenderung melekatkan "petanda" politik pada kepemimpinan tokoh beberapa tahun lalu itu.
Jika ingin melihat pusat konsentrasi pemerintahan lama Kota Tobelo, amatilah disekitar gedung Hibualamo saat ini. Pada areal yang saling berdekatan, terdapat kantor Polsek, Pengadilan Negeri Tobelo, perpustakaan daerah, SMP-SMA, ada kantor Tentara, ada kantor kecamatan, ada Tugu Hibualamo. Semuanya terfokus melingkari gedung Hibualamo.
Diseberang timur Tugu, kalau dari Dufa-Dufa ke arah barat menuju Hibualamo, berdiri sebuah Hotel bernama Juliana. Konstruksinya model kantor kolonial berwarna putih. Tahun 70-an, lokasi gedung ini merupakan gedung bioskop di Tobelo. Lalu berubah dijadikan rumah warga, dan sekarang jadi lagi Hotel dengan konstruksi berbeda. Tempat di samping kanannya, ada satu gedung tua.
Konstruksi dinding masih terlapisi kayu, dan bahan perekatnya bukan dari semen. Ini satu-satunya bangunan tua berukuran besar dan tinggi yang masih terlihat di kawasan ini. Di depannya berdiri rumah-rumah makan disepanjang tepian jalan tersebut. Saya gamit informasi bahwa lokasi awal gedung Hibualamo letaknya di seputaran kawasan Hotel Juliana dan bangunan tua itu, sebelum dipindahkan ke lokasi sekarang.
Dalam potret kota Tobelo tahun 46, gedung dan pemukiman yang melingkari Hibualamo di sisi Utara sekarang itu belum ada. Pemukiman hanya tersebar di pesisir dan tepat di sepanjang sisi kiri jalan, tempat Hotel Juliana dan bangunan tua saat ini. Artinya, kawasan Kantor Kecamatan Tobelo pada tahun 46 belum ada pemukiman. Hamparan pohon-pohon kelapa dan kebun masih keliatan sekali. Maka informasi gedung awal Hibualamo yang saya dapat bisa diteliti lebih lanjut dari segi tata kota kolonial
Gamsungi memang merepresentasi banyak peristiwa. Pola perkembangan permukiman sekarang mengakomodasikan kehidupan multi-kultur. Di Dufa-Dufa, kompleks dekat pelabuhan di sebut Angin Mamiri, di sini banyak asimilasi orang bugis dan Tolonuo (mereka berdagang dan juga mengais sektor jasa pelabuhan), sedangkan di kompleks Masjid At-Taqwa terdapat orang keturunan Tobelo, Ternate dan Tidore. Sekarang bahkan ada Ikatan Keluarga Tidore di Dufa-Dufa Tobelo. Semantara di bagian utara pesisir Dufa-dufa bermukimlah orang-orang keturunan dari Sanger, yang disebut kompleks Pante Indah, dekat kampong Cina.
Nama Dufa-dufa di Tobelo ini hasil kontak-kontak setelah tahun 50-an ketika orang orang Tidore (Mareku dan Toloa) yang juga berhubungan dengan orang Dufa-Dufa Ternate datang membawa profesi nelayan. Karena penduduk setempat menuturkan orang Dufa-Dufa Ternate juga datang dengan tujuan dan pencaharian yang sama (wawancara pak Rusmin, 2022). Sekarang dipahami, kalau kita lacak persilangan budaya antara Toloa-Mareku-Dufa2 Ternate-Dufa2 Tobelo. Artinya, toponimi Dufa-Dufa dapat menjelaskan perjumpaan sejarah antar ketiga komunitas geografi pesisir itu ke dalam satu kesatuan kultural; budaya bahari.
Komposisi multi-kultur Gamsungi juga di kampong Cina, dan rumah ibadah pertama Gamsungi adalah Masjid Jami di kampong Cina. Adalah wilayah dengan pemukiman terbanyak yang terlihat tahun 46. Tetuah di Jalan Baru bercerita dulu sebelum dibangun Masjid Jalan Baru, tokoh agamanya mengabdi di Masjid Jami. Diduga, keberadaan orang-orang keturunan Cina di kampong ini dinarasikan hasil ekspansi kesultanan Ternate dulu yang mengutus para ulama besar untuk siar Islam. Relasi ini bisa dilihat dari Imam besar Masjid Jami termasuk bermarga "Tjan," yang pusat penyebaran marga ini dari Ternate ke pesisir Utara Halmahera.
**
Untuk mencapai kantor desa Gamsungi dari Dufa-dufa atau kampong Cina, kita harus ke sisi barat desa menuju kompleks yang disebut Aspol (asrama polisi). Baru ketika melewati jalan masuk, terlihat sebuah Gereja tanda komunitas nasrani. Kompleks Aspol mayoritasnya kristen dan pusat pemerintahan desa tepat di lingkungan ini. Kehidupan beda agama dan budaya terus memenuhi desa Gamsungi sejak lama. Sekarang ada 13 Gereja, 5 buah Masjid dan 4 Mushollah. Bagian paling barat ada Rumah Sakit Umum Daerah dan 1 buah Perguruan Tinggi.
Betatapun itu, dibangunlah satu buah pos penjagaan militer beberap tahun lalu di jalan yang menghubungkan kompleks Jalan Baru dan Desa Gosoma. Tujuannya tentu kita semua sadar karena peristiwa "kebakaran" bangunan sekolah kemarin itu. dalam konteks ini, makna budaya Hibualamo menjadi penting secara politis untuk disebarkan, disosialisasikan kepada generasi muda. Karena tak ada pendekatan paling realistis dan menyentuh, selain pendekatan adat dan budaya orang Tobelo.
Gamsungi (Tobelo) harus dibangun dengan jalan ini. Melihat peta kondisi geografis, populasi, dan sebaran pemukiman hari ini, saya membaca Gamsungi adalah "sejarah yang telah diruangkan", sekaligus "ruang yang hendak disejarahkan". Tugas pemerintah dan semua kita menjaga supaya tragedi-tragedi kemanusiaan tak lagi tercatat dalam proses "meruangkan sejarah" masa depan.
*Note; tulisan ini sudah pernah post di beranda Facebook penulis dengan judul Gamsungi (bagian II)
Komentar
Posting Komentar