Makna Imanensi dalam Jou Se Ngofa Ngare yang Transendental oleh Wawan Ilyas
Makna Imanensi dalam Jou Se Ngofangare yang Transendental[1]
Wawan Ilyas
Demisioner Ketua Umum PUSMAT Kota Ternate
Wacana
Sepatutnya disadari dewasa ini,
seluruh aspek kehidupan menuai perubahan, terutama tentang fakta satu sisi
membawa keberkahan, tetapi tak luput menimbulkan “bencana” di sisi lainnya.
Ibarat dua mata pisau, perubahan atau “kemajuan” justru menyimpan akibat logis
secara konstruktif maupun destruktif. Seperti tesis Pencerahan (enlightenment), alih-alih menawarkan
kemajuan setelah keluar dari bahaya doktrinasi agama menuju kebebasan ide
rasionalisasi kehidupan, justru menimbulkan dialektika
baru yang destruktif terhadap posisi otoritas manusia dan alam.[2]
Menyadari betapa berbahayanya modernisme,
PUSMAT Kota Ternate mengadakan diskusi mingguan yang memosisikan Falsafah Jou se Ngofangare (Suba Jou; Sembah Tuhan) semacam Grand Teory, guna mendedah atau memahami
permasalahan seharian dengan pelbagai perspektif. Grand Teory ini bukan saja memenuhi panggilan intelektual, tetapi
jauh lebih mendasar, memproteksi kecenderungan ke arah tindakan akomodatif
terhadap kebudayaan, serta mengembalikan pengetahuan lokal dalam derasnya
hantaman angin pembangunan dan globalisasi.
Sosiolog kenamaan Amerika, Randal Collins, pernah mengatakan; kita tidak lagi bertanya mengapa suatu masyarakat terbentuk, melainkan setelah terbentuk, apa dan bagaimana suatu masyarakat bisa bertahan? Pertanyaan Collins mengarahkan kita pada pencarian suatu norma atau sistem sosial tertentu, yang mendialektikakan masyarakat dalam kurun waktu cukup lama. Atau dalam terminologi Yuval Noah Harari,[3] mencari kemampuan bagaimana manusia menciptakan cerita, membangun harapan, menentukan nilai melalui “mitos bersama”, yang darinya manusia mampu bertahan (survive) dalam sejarah panjangnya sebagai Sapiens. Adalah Falsafah Jou se Ngofangare di Ternate sebagai hirarki tertinggi sistem sosial, sistem tindakan, sistem nilai, sistem pengetahuan, mendinamisasi masyarakat beragama dan berbudaya dengan nilai-nilai adat se atorang.
Makna Jou se
Ngofangare
Dalam banyak ruang dan kesempatan, kerangka epistemik Falsafah Jou se Ngofangare tertuju pada penyingkapan misteri hubungan
primordial antara Tuhan dan manusia. Jou artinya
Tuhan, sementara Ngofangare adalah manusia yang dipersonifikasikan kepada Nabi Muhammad
SAW.[4] Maka
tidak ada pembuktian lain tasawuf dan mistisisme dari pada Asyhadu allah illaha illaallah wa asyhadu anna Muhammadar Rasullullah.
Kiemalaha Labuha, bapak Mas’ud Subarjo, dalam penyampaian materinya mengatakan kekuatan
terbesar manusia sebagai khalifah, adalah
kemampuannya dalam merasa (bobaso se
rasai) unsur-unsur ilahiah di dalam dirinya, dengan percaya otentisitas
narasi lokal yang melampaui ruang dan waktu temporal, sebagaimana diketahui dalam
pertanyaan primordial berikut ini;
“Toma ua hang moju, toma limau gapi matubu, koga i dadi
sosira? Pada waktu sebelum adanya sesuatu dari masa, di tempat
yang tertinggi, apa yang lebih dulu eksis? Maka jawabannya toma ua hang moju, toma limau gapi matubu, Jou se Ngofangare
(sebelum adanya sesuatu dari masa, ditempat yang tertinggi, ada Aku dan Engkau)”[5]
Ketika mendiskusikan perihal tasawuf, rujukan dasar yang diwajibkan setiap
sufi atau teolog, atau ulama adalah kitab
suci Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Maka apakah pertanyaan kultural di atas
mempunyai legitimasi Qur’an sebagaimana adanya? Disinilah, Jou se Ngofangare, yang adalah
reinkarnasi Aku dan Engkau,
menjadi presisi kultural untuk mengantarkan kita pada keluasan epistemologi ketauhidan
yang berbunyi;
“Bukankah pernah datang kepada manusia waktu dari masa,
yang ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? Sungguh, kami telah
menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang kami hendak
mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu, kami jadikan dia
mendengar dan melihat” (QS. Al-Insan:1-2)
Secara umum dari sisi sosio-antropologi agama, Jou se Ngofangare menjadi bentuk interpretasi kultural terhadap
teks-teks ketauhidan, bersamaan sifat sosio-antropologis masyarakatnya yang
terbuka. Maka muncul kenyataan berupa “klaim-klaim” yang hingga kina tak
“terdamaikan”. Klaim pertama mengatakan falsafah ini telah lebih dulu ada
sebelum masuknya agama (Islam). Sedangkan yang kedua menyebut Jou se Ngofangare adalah bentuk “penyederhanaan”
lewat bahasa lokal setelah masuknya
agama konvensional, karena seperti teori-teori penyiaran Islam, bahwa instrumen
kebudayaanlah yang digunakan sebagai media komunikasi penyiaran, pintu masuk
pertama yang digunakan adalah bahasa. Bagi klaim kedua, Jou se Ngofangare berada pada ranah tersebut di Moloku Kie Raha.
Akan tetapi, saya tidak akan terlibat dalam “kerumitan-kerumitan” klaim itu.
Poin saya, kita memiliki kandungan budaya yang syarat nilai-nilai tauhid dan
harus dipelajari, dikembangkan dan diterjemahkan kedalam tindakan nyata. Oleh
karenanya, memperdebatkan mana yang duluan ada bukanlah keharusan tulisan ini. Diskusi
mingguan PUSMAT menghadirkan Kiemalaha Labuha (bapak Mas’ud Subarjo) dan Hi.
Adam Ma’rus dalam dua pengertian. Kiemalaha Labuha melakukan penghayatan dari
segi esoteriknya, atau aspek batiniah, yang sudah saya singgung sebelum ini, sedangkan
Hi. Adam Ma’rus mendedah dalam kerangka eksoterik, atau segi lahiriah, yang
akan saya paparkan pada sebagian besar elaborasi tulisan ini. Maka, seperti
dikatakan Nurkholis Madjid ketika membuka artikelnya berjudul “Neosufisme”-
“sebagai sistem ajaran keagamaan yang lengkap dan utuh, Islam memberi tempat
kepada jenis penghayatan eksoterik dan esoterik sekaligus.[6]
Demikian falsafah Jou se Ngofangare, terbuka pada kedua
penafsiran tersebut, yang pada judul tulisan saya sebut imanensi (lahiriah) dan
transendental (batiniah).
Meskipun demikian, saya perlu membatasi telaah ini untuk sekedar
mengungkapkan nilai imanensi (eksoterik, lahiriah). Dalam arti nilai lahiriah
dapat dijumpai pada praktek historis-sosiologis berupa simbol-simbol, syair, ritual
dan pemaknaan tindakan tertentu. Sekaligus membawa keberpihakan terhadap kenyataan
bahwa agama selalu “berdamai” dengan budaya dalam perkembangannya di suatu
wilayah, terlebih lagi di Nusantara. Hal ini mengingatkan seorang guru bangsa,
Gus Dur, dalam artikel bertemakan, Islam:
Ideologis ataukah Kultural?[7]
Mengulas padat praktek Islam kultural di pelbagai daerah di Indonesia dan
memberi contoh-contoh moralitas dan kebijaksanaan agama bagi pemimpin-pemimpin
politik. Yang berharga, bahwa Gus Dur menolak pendirian negara Islam di
Indonesia, tanpa mengabaikan praktek kultural-agamais dalam sepanjang dinamika sejarah
bangsa ini. Dengan menolak negara Islam, beliau telah memerhatikan
heterogenitas dan peta historis-sosiologis juga antropologis masyarakat kita,
yang artinya lebih memilih kontinuitas Islam hidup secara kultural dan tidak
menjadikan Islam sebagai ideologi negara.
Mendasarkan pemahamannya pada nilai eksoterik filsafat Suba Jou, Hi. Adam Ma’rus bercerita, orang Ternate tempo dulu punya
satu kesukaan menanam pohon pisang mas, buah delima dan pohon tebu di
pekarangan rumah. Momentum kultural bersejarah ini menyangkut persiapan keluarga
mempertahankan tradisi khataman Qur’an, dimana tiga buah itulah yang dijadikan
“hiasan”, sebagai simbol perwujudan rasa syukur terhadap Tuhan, dan bentuk
perhargaan atas alam. Tradisi Islam di Ternate karena itu, secara eksplisit mengampanyekan
nilai etiknya secara ekologis. Dengan membiasakan menanam di pekarangan, dapat
berarti memperkecil kesempatan menutup permukaan tanah dengan hamparan beton
disekitar lingkungan hidup.
Makna Imanensi dalam Ranah Ekologi
Secara geografis, Ternate merupakan pulau bertopografi pegunungan dengan
morfologi perkembangan permukiman beridentitaskan Islam yang bergerak dari
pesisir pantai.[8]
Posisi topografi Ternate seperti itu mengaksentuasi sifat-sifat ekologis,
semisal sifat air yang hakikatnya mengalir dari dataran tinggi ke rendah (bukan
sebaliknya.) Lebih-lebih, dalam studi Pengairan, kondisi pegunungan dan
perbukitan lebih kecil menyimpan cadangan air tanah dari pada dataran rendah,
atau “daerah rata,” karena ketika datang musim hujan, debit air lebih banyak
mengalir menuju pesisir pantai atau laut dari pada “terserap” ke bawah tanah.
Tindakan budaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir penyerapan air
tanah adalah dengan memperbanyak “menanam pohon.” Menanam pohon memiliki
setidaknya tiga fungsi. Pertama,
menambah pasokan oksigen (Co2) bagi lingkungan termasuk manusia. Kedua, pohon dapat “menahan” banjir dari
dataran tinggi karena akarnya berfungsi menyerap air ke bawah mempertebal/memperlancar
vegetasi tanah. Dan sistem hidrolik daripada akar pohon menjadi fungsi ketiganya, yaitu membantu menyimpan
pasokan air tanah. Oleh sebab itu, sebuah wilayah pegunungan dan permukiman
dibawahnya yang dipenuhi bangunan-bangunan berbeton dari waktu ke waktu akan
membuka pintu ke arah kelangkaan cadangan dan distribusi air tanah.[9]
Penjelasan singkat di atas boleh dimengerti bahwa ada the etics of environmentality yang diajarkan tetuah Ternate
terdahulu sejak dari “pekarangan rumah.” Hukum timbal balik antara alam dan
manusia dalam bentuk tindakan resiprosikal menanam, telah lama mengonfirmasi
perkembangan ilmu pengetahuan modern, bahwa yang dimaksud “etika lingkungan”
seharusnya berwujud dalam bentuk tindakan nyata, tidak sebatas nilai yang
dipercaya. Kepercayaan tentang relasi manusia dengan lingkungannya mendapat
ruang artikulasi melalui tradisi dan media Islam lokal, praktek Khataman Qur’an
di Ternate, dengan kesadaran (consciusness)
menanam pohon pisang, pohon tebu dan pohon buah delima di pekarangan rumah.
Artinya, ditengah maraknya pembangunan kota yang mengakibatkan krisis
lingkungan (misalnya, krisis air) saat ini, kita perlu belajar dari media
budaya Islam yang ada di Ternate tempo dulu. Dari pekarangan rumah, melalui
tradisi dan ritual khataman Qur’an, kita belajar dan berbicara “keseimbangan lingkungan”
secara holistik dan berbudaya. Kita berbicara praktek yang imanen dari sesuatu
yang transenden.
Dengan situasi krisis air semakin nyata, saya boleh mengatakan, tindakan
menanam di pekarangan merupakan kompendium kebudayaan tentang konservasi air,
sekaligus praktek reboisasi yang dipesankan secara historis-sosiologis dan
agamais. Dengan kata lain, betapa pentingnya air bagi kehidupan, membuat tetuah
Ternate melakoni praktek Ke-Islam-an penuh kesadaran yang empirikal, realistis.
Nilai-nilai agama dipraktekkan tanpa melewati instrumen budaya yang historikal, termasuk
menunjukkan tindakan agama yang tidak “kaku” dan tidak “formal.” Ada struktur
budaya dan struktur agama yang mempengaruhi aktor dalam proses realisasi
keduanya. Sehingga secara praksis, diperlukan strukturasi makna agama dan
budaya dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk tindakan konservasi hari ini.
Pemerintah Kota Ternate harus membuka diri dan perlu jujur, bahwa selama
kurun waktu 10 tahun terakhir, tidak melakukan konservasi lingkungan (terutama
air) secara serius. Taruhlah contoh sumber air Ake Ga’ale. Disana tumbuh pohon Sagu yang terkenal paling baik sistem
hidroliknya dalam memfilter dan menyimpan cadangan air, tetapi konservasi
serius di wilayah tersebut tidak dilakukan secara terukur. Bahkan terjadi
“penebangan” pohon Sagu, sehingga kita tidak bisa mengimbangi rembesan air laut
ke daratan yang mengakibatkan rasa asin dan perubahan warna pada air (Salobar) beberapa waktu lalu, khususnya tersalur
beberapa Kelurahan di wilayah kecamatan Ternate Utara.[10]
Lagi-lagi, kita diperingatkan perihal basis etis dari keseluruhan hubungan
manusia dengan alam dalam cara berfikir kosmologi orang Ternate. Hi. Adam Ma’rus
menjelaskan bahwa tetuah Ternate percaya, ketika manusia menjaga relasinya
bersama alam, maka alam pun ikut mengintervensi kehidupan manusia. Antara
manusia dan alam memiliki sumber keberhidupan yang sama, yaitu Jou yang “menghamparkan tanda-tanda-NYA di muka bumi.” Maka merusak alam sama
halnya merusak diri. Tidak peduli terhadap alam sama halnya tidak mengurusi
diri sendiri. Kepercayaan itu yang termanifestasi secara simbolik melalui
“pisang, tebu dan delima” dalam tradisi khataman Qur’an di Ternate.[11]
Secara filosofis, krisis lingkungan sesungguhnya berakar pada klaim
ontologi filsafat barat, berupa paham antroposentrisme yang mendudukkan manusia
sebagai “pusat” dalam relasinya dengan alam. Klaim sepihak ini bersumber
pemikiran pada logika Cartesian (rasionalisasi) yang mendikotomikan antara ruang
fisik (res extensa) dengan ruang mental (res cogita). Cara pandang dikotomi
menghendaki tindakan manusia tidak ada hubungannya dengan keberlangsungan hidup
alam.[12] Maka
eksploitasi terhadap alam diterjemahkan sebagai tidak melanggar nilai etik atas
sesuatu di luar manusia. Oleh karena gagasan tersebut, maka langkah filosofis
pertama yang harus dilakukan adalah melakukan “pembongkaran” basis pemikiran ontologi,
dari keterpisahan relasi manusia dengan alam menuju pada hubungan saling
membutuhkan antar keduanya. Dalam konteks ini, bukankah filsafat Suba Jou telah secara mendalam
mengajarkan kita akan hal itu?
Makna Imanensi dalam Ranah Multikultur
Jauh dari sekedar mengungkap sebuah tradisi lokal, mempelajari aspek
sosio-kultural keagamaan justru memperluas cakrawala keragaman multikulturalisme
dalam kehidupan suatu negara bangsa (nation
state). Secara eksistensial, Falsafah
Jou Se Ngofangare dikonstruksi atas keragaman dan relativisme kebudayaan
bangsa disertai makna-makna imanensi, empirikal dan sosiologis yang menyertakan
nilai agama sebagai “ruh” kehidupan yang transendental. Dalam kajian sosiologi,
tindakan menanam dipekarangan merupakan bentuk tindakan sosial, dalam hal ini,
tindakan itu didasarkan pada kesadaran akan keseimbangan lingkungan dan
derivasi atas ajaran agama (khataman Qur’an) secara nyata dan
sosiologis di Ternate.
Yang berbahaya jika doktrin agama diterima secara “konvensional”, lalu
dipaksakan formalisasinya ke dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pada
yang demikian justru menganggap “keanekaraman” tradisi dan budaya keagamaan di
daerah sebagai bid’ah, kafir dan lain sebagainya. Keinginan seperti itu hanyalah
ilusi sosial dan politik karena mengabaikan kenyataan sosial-historis dalam
keberlangsungan suatu masyarakat yang multikultural. Saya kutip penggalan
argumen hasil penelitian berikut ini;
“Formalisasi agama jelas sangat
membahayakan, baik bagi agama itu sendiri maupun penganutnya/bangsa Indonesia.
Dengan formalisasi, agama akan diamputasi sedemikian rupa, dilepaskan dari
konteks sosial dan kultural masa risalah, disapih dari pertumbuhannya sepanjang
sejarah, dan pesan-pesannya akan ditentukan berdasarkan bingkai ideologis,
dan/atau platform partai politik.”[13]
Hi. Adam Ma’rus secara santai dan gamblang meneruskan diskusi tentang
pentingnya “menghargai” budaya bangsa ditiap-tiap daerah. Menurut beliau,
justru melalui tradisi-trasidi lokal dan tindakan sosial itulah proses
pemaknaan atas agama mendapat ruang perkembangannya. Maka perlu menahan diri
untuk menjastifikasi ritual tertentu sebagai bid’ah, syirik atau bertentangan
dengan agama. Barangkali tercermin dalam kecenderungan perilaku para penganut
Islam “garis keras” di Indonesia, yang, pada akhirnya sering melancarkan misi
keagamaan melalui pelbagai serangan teror dan kekerasan.[14] Formalisasi
dan ideologisasi agama (Islam) pada
kesempatan lain, seperti kata Gus Dur, hanya akan menafikan kejayaan atau kemampuan
agama ini (juga semua agama) untuk berkembang secara kultural.
Tetapi perlu dipahami, bahwa etalase ekonomi politik dan perilaku elitis
yang memungkinkan dibukakannya struktur dan kesempatan bagi tumbuh-kembangnnya
tindakan kekerasan “berjubah” agama. Padahal, ajakan hidup damai dan saling menghargai
satu sama lain telah lama tumbuh bersama sistem sosial atau nilai-nilai lokal
di Nusantara. Di Ternate misalnya, kompendium kebudayaan tentang realitas
sosiologis masyarakat multikultural dapat dijumpai dalam syair dolo bololo berikut ini;
“ngone doka dai loko, ahu yo ma fara-fara, si rubu-rubu
yo ma moi-moi, doka saya rako moi”(Kita (manusia) bagaikan bunga kembang yang
hidup terpisah/terpencar di berbagai tempat, jika terhimpun menjadi satu, maka
terlihat indah seperti seikat kembang)
Teks-teks sastrawi berperan sekaligus mendasari bangunan kreativitas dan
keunikan pengetahuan lokal ini adalah Dunia
Sophie, dalam bahasa Justin Garder, dan kebijaksanaan (local wisdom) masyarakat Kie
Raha. Jika agama memperingatkan realitas sosio-antropologi melalui teks kitab
suci yang berbunyi;
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal...” (QS.
Al-Hujurat: 13)
Maka, proses realisasi kebudayaannya hidup dan berkembang melalui
butiran-butiran dolo bololo di atas.
Ini pertanda begitu dekatnya perjumpaan antara agama dan proses kulturisasi pada
masyarakat Moloku Kie Raha. Falsafah Jou se Ngofangare karena itu, mengakomodasi kerangka pemahaman kita,
membingkai relasi agama dan budaya dalam cara yang paling praksis (imanen).
Untuk bisa termanifestasi, baik agama maupun budaya, pada dasarnya diperantarai
oleh tindakan manusia. Oleh karenanya, ritual keagamaan itu sendiri dapat disebut
sebagai suatu tindakan budaya. Sebaliknya, ritual kebudayaan tertentu yang
mengutamakan penghargaan atas alam dan manusia dapat disebut sebagai tindakan agamais.
Jou se Ngofangare adalah wujud
kekayaan khazanah pemikiran agama yang dikembangkan secara kultural.
Saat ini kita diperhadapkan dengan fenomena menguatnya “politik identitas”
dalam suksesi demokrasi seringkali menghasilkan sentimen kelompok multi etnis dan agama. Fenomena “identitas”
selalu menjadi “bahaya laten” yang siap menjadi “manifes (terbuka)” ketika
distribusi kekuasaan politik dan pemanfaatan sumber-sumber ekonomi dilakukan
secara sepihak. Makna agama dan etnisitas didistorsikan sebatas kekuatan untuk
“mengalahkan”, selain menjadi ruang pergolakan mengantarkan masyarakat pada
sikap tertutup. Dalam situasi seperti ini, kita perlu melangkah melalui jalan
pulang kultural, dengan melakukan apa yang disebut Peter L Berger sebagai
proses Debunking.[15] Adalah
penolakan terhadap “realitas palsu”, atau dalam hal ini, “pandangan mapan” atas
satu entitas ditengah keragaman realitas sosio-kultural di negeri ini. Apalagi
ketika modernisme pembangunan semakin mengikis nilai-nilai lokalitas terhadap
pelbagai bidang kehidupan atas nama “kemajuan” dan “keindahan” wajah kota.[16]
Proses Debunking dilakukan melalui
tiga hubungan simultan berupa objektivikasi realitas yang mengganggu ketertiban
bersama (misalnya krisis ekologi atau masalah sosial-keagamaan), lalu meng-internalisasi-kan
nilai-nilai kebudayaan melalui pendidikan kultural dan penghargaan atas
keragaman (termasuk hubungan alam dan manusia), sehingga seluruh proses itu
dapat bernilai praksis secara “eksternal,” dalam bentuk tindakan sosial menjaga
lingkungan dan menghargai realitas multikultural.
Falsafah Jou se Ngofangare, lanjut
Hi. Adam Ma’rus, bukanlah suatu
pemikiran budaya dan agama yang kaku dan formalistik yang harus dipahami secara
terbatas atau tertutup. Dengan falsafah ini, tetuah Ternate sebetulnya
“menyederhanakan” atau “memudahkan” kita untuk menyadari, bahwa kehidupan berjalan
pada poros hubungan tidak terpisahkan antara “keunikan” manusia, eksistensi alam
dan kebesaran Tuhan. Tetuah Ternate terdahulu mengejawantahkannya melalui
pelbagai ritual dan simbol-simbol budaya. Bahwa hubungan vertikal kepada Tuhan,
harus diperluas dengan tindakan horizontal terhadap sesama manusia dan alam. Oleh
sebab itu, memaknai nilai falsafah yang transendental ke dalam praktek yang imanen
menjadi “jalan keluar” dari himpitan problem kemasyarakatan hari ini.
Mungkin, karena kita berlaku acuh dan tidak mau menyelami kedalaman sejarah,
budaya, dan samudera kebijaksanaan di negeri tercinta. Adalah tugas semua orang
mengembalikan nilai-nilai kebudayaan, memosisikannya sebagai pijakan
pembangunan tanpa pamrih, karena seperti dikatakan Herman Usman (2007);
“Kitalah yang memiliki hak untuk menggerakkan maju mundur atau ambruknya
sejarah daerah ini. Bukan siapa-siapa. Karena itu adalah hak kesejarahan kita.”
Salam Hormat. Suba Jo.
Wawan Ilyas.
Referensi
Berger,
Peter L. dan Thomas Luckmann. Tafsir
Sosial Atas Kenyataan: Risalah
Tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES
Dewi, Saras, 2015. Ekofenomenologi:
Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia dengan Alam. Tangerang Selatan.
Marjin Kiri.
Handoko,
Wuri. 2015. Tata Kota Islam Ternate;
Tinjauan Morfologi dan Kosmologi. KAPATA Arkeologi Volume 11, No. 2, November).
Harari,
Yuval Noah, 2018. Sapiens: Riwayat
Singkat Umat Manusia. 2018. Jakarta. KPG. Cetakan Kelima
Horkheimer, Max & Theodor W. Adorno. Dialectic of Enlightenment. 1972. New York.
The Seabury Press.
Madjid, Nurkholis. Islam
Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah.
Tanpa tahun.
Wahid,
Abdurrahman, 2006. Islamku, Islam Anda,
Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi. Jakarta. the Wahid
Institute.
Wahid, KH. Abdurrahman (Ed), 2009. Ilusi Negara Islam; Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia.
Jakarta. the Wahid Institute.
[1]
Tulisan ini dikembangan dari diskusi mingguan Pusat Studi Mahasiswa Ternate
(PUSMAT) bersama Kiemalaha Labuha kesultanan Ternate, Bapak Mas’ud Subarjo,
pada Kamis, 18 November 2021 dengan tema; Jou
se Ngofangare, dan Bapak Hi. Adam Ma’rus,
mantan Kepala Departemen Agama Kota Ternate, dengan tema; Falsafah Jou Se Ngofangare pada Kamis, 25 November 2021, di sekretariat
PUSMAT Kel. Akehuda, Kec. Ternate Utara, Kota Ternate.
[2] Lihat,
Theodor W. Adorno & Max Horkheimer.
Dialectic of Enlightenment. 1972. New
York: The Seabury Press.
[3] Lihat, Yuval
Noah Harari. Sapiens: Riwayat Singkat
Umat Manusia. 2018. Jakarta. KPG. Cetakan Kelima. Baca terutama Bab 6; Membangun
Piramida. Yuval menunjukkan contoh bagaimana peradaban dinasti Babilonia
dan masyarakatnya bertahan melalui suatu sistem sosial politik dan budaya yang
dicetuskan pada masa seorang raja bernama Hammurabi. Sistem itu kemudian
disebut dengan Hammurabi Code.
[4] Lihat,
Hidayatullah M. Sjah. Suba Jou: suatu
Tinjauan Filosofis-Religius Terhadap Simbol-simbol Adat dan Agama dalam
Mengungkapkan Misteri Tuhan dan Manusia. 2006. Ternate:
Yayasan Gemusba
[5] Lihat, Hidayatullah M. Sjah. Ibid
[6]
Lihat, Nurkholis Madjid. Islam Agama
Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah. Baca
artikelnya mengenai “Neosufisme”. Tanpa tahun.
[7]
Lihat, Abdurrahman Wahid. 2006. Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi. 2006. Jakarta. the Wahid Institute.
[8] Lihat,
Wuri Handoko. Tata Kota Islam Ternate;
Tinjauan Morfologi dan Kosmologi. KAPATA Arkeologi Volume 11, No. 2, November, 2015.
[9] Argumen
ini saya petik dari diskusi beberapa kesempatan bersama senior saya, Darmin Hi.
Hasyim, yang pernah menggeluti studi ekologi di Institute Pertanian Bogor
(IPB). Juga melalui sahabat saya, Syarif Robo, lulusan studi Pengairan IPB di
bilangan Kota Hujan (Bogor) pada awal tahun 2019 yang lalu.
[10]
Ada banyak jalan dalam kebijakan konservasi. Misalnya, pemerintah harus
membebaskan lahan sekitar wilayah Ake Ga’ale demi mencegah penyerobotan warga
dalam membangun. Sebab ketika dibiarkan, pohon-pohon Sagu akan ditebang
bersamaan mengecilnya wilayah konservasi. Ini semakin membahayakan pasokan air
dan kemampuan filterisasi alamiah pada pohon Sagu. Selain itu, pemerintah butuh
menetapkan wilayah yang dijadikan titik-titik konservasi air tanah di Kota
Ternate. Dalam Perda RTRW Kota Ternate No. 02 Tahun 2012, tidak ada upaya strategis
yang ditetapkan sebagai khusus wilayah konservasi air. Padahal kita punya
banyak sumber air di Ternate. Ada Ake
Ga’ale di Kel. Sangaji, Ake Rica
di Kel. Rua, Tolire di Kel. Takome,
Danau Laguna di Kel. Ngade. Kebijakan konservasi juga dapat dilakukan
melalui pembatasan pendirian bangunan (swasta/pemerintah/warga) yang akan
memerlukan banyak distrbusi air di wilayah tertentu dan memperlebar
“betonisasi” di Ternate. Maka konsekuensinya, pemerintah melalui PDAM harus
tahu jelas berapa kebutuhan debit air/rumah tangga dalam sehari. Selama ini,
publik tidak diinfokan dengan data-data seperti ini. Atau bisa dijalur setiap
kecamatan mulai melangsungkan kegiatan memanfaatkan air hujan (mantan Camat
Ternate Utara, Zulkifli, telah memperkenalkan program itu) dengan membangun
media penampung air di tiap rumah (perlu disampaikan Orang Hiri telah melakukan
habitus (kebiasaan) secara turun temurun dimana saat ini kebanyakan rumah
terdapat bak/wadah penampungan air hujan. Ketika penggalian wadah ini, mereka
melakukannya secara gotong-royong). Yang paling urgen lagi untuk tahapan
konservasi, PDAM harus mendirikan satu bidang khusus, semacam Litbang, yang
didalamnya diisi para ahli Pengairan atau ekologi untuk melakukan penelitian
setiap tahun tentang air di Ternate (saran dari senior saya, Darmin Hi.
Hasyim). Akhirnya, menejmen PDAM harus diperbaiki, sehingga tidak menjadi lahan
“investasi pribadi” dalam mengelola dan melayani kebutuhan air warga kota
Ternate (Baca: pengalaman kasus “Ino Oke” di masa Wali Kota Burhan Abdurrahman).
[11] Bapak
Mas’ud Subarjo, Kiemalaha Labuha Kesultanan Ternate, juga mengatakan
ritual-ritual seperti “Kololi Kie”, “Fere Kie” memiliki pesan kultural dalam
cara merawat hubungan harmonis antara manusia, alam dan Tuhan. Ini disertai
mendoakan mereka para syekh, para momole, kolano, sultan, dan “orang-orang
auliya” yang pernah menanamkan ajaran-ajaran ketauhidan di negeri Moloku Kie Raha.
[12]
Pemahaman filosofis tentang relasi ekuilibrium manusia dengan alam bisa dibaca
dalam buku dengan pendekatan fenomenologi (Martin Heidegger, Edmund Husserl dan
Maurice Merleau-Ponty) yang ditulis oleh Saras Dewi. Ekofenomenologi: Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia dengan Alam. 2015. Tangerang Selatan. Marjin
Kiri.
[13] Lihat,
Wahid, KH. Abdurrahman (Ed). Ilusi Negara
Islam; Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. 2009. Jakarta.
the Wahid Institute. Hal, 101
[14]
Buku editan KH. Abdurrahman Wahid itu paling representatif dan substansi
untuk memahami gerakan-gerakan Islam “garis keras” secara global dan wabil
khusus pengaruh secara terselubung di Indonesia. Paham-paham ini terilhami dari
gerakan-gerakan Wahabi, Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir yang berkeinginan
mendirikan Khilafah Islamiyah, yang tentunya sangat bertentangan dengan
karakter sosio-antropologi dan historis masyarakat Indonesia.
[15] Lihat, Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta.
LP3ES
[16]
Sila mengamati pembangunan Kota Ternate beberapa tahun belakangan. Atas
nama “keindahan wajah” kota modern, ritus-ritus bersejarah dihilangkan,
“disulap” menjadi ruang produksi dan reproduksi kapital ekonomi. Wilayah
pesisir dijarah dengan maraknya reklamasi, yang demikian merusak lingkungan
hidup daerah pesisir Ternate. Maka sama seperti tidak menghargai alam karena
basis etis ekologis yang diajarkan tetuah Ternate diabaikan. Padahal daerah ini
memiliki kosmologi lingkungan yang perlu diperhitungkan dalam setiap perumusan
kebijakan. Dalam berita belakangan, warga Kel. Mangga Dua melakukan protes dan mengecam penghancuran hutan Manggrove di
pesisir Mangga Dua yang dilakukan pemerintah Kota Ternate atas alasan reklamasi.
Komentar
Posting Komentar