Dermaga Hiri dan Hak Atas Kota: Mencari Keadilan Bersama Henri Lefebvre

 

Dermaga Hiri dan Hak Atas Kota

Mencari Keadilan Bersama Henri Lefebvre

 

Wawan Ilyas

Pemuda Pulau Hiri

 

TERNATE, meminjam istilah Yasraf Amir Piliang, terus berdinamika ibarat “Dunia yang Dilipat.” Melipat ruang, melipat waktu, melipat komunikasi, melipat moral dan sebagainya. Secara vertikal, polarisasi elitisnya bertambah runyam hari ini.  Secara horizontal, pertambahan penduduk  dan pertukaran kapital membuat kota kecil berubah bagaikan “medan perjumpaan” yang begitu padat dan rumit. Saya, dan mungkin juga anda adalah bagian kecil elemen kota yang ikut menyumbangkan kerumitan dan kepadatan itu. Barangkali benar adanya, bahwa hak individu dan kelompok warga yang dijamin konstitusi, justru harus diperjuangkan dalam kenyataan sosiologis pembangunan. Mengapakah demikian? Dengan interelasi masalah dermaga Hiri, tulisan ini akan menerangkan problem dasar ke-ruang-an di kota Ternate dalam tinjauan sosio-spasial (produksi ruang).

 Henri  Lefebvre (1901-1991), filsuf dan sosiolog Neo-Marxis berkebangsaan Perancis menulis maha karyanya; The Production of Space (1991), memberi suntikan pemikiran bagi perkembangan filsafat, ilmu sosial humaniora dan studi-studi perkotaan. Buku itu memuat tesis dasar bahwa ruang sosial merupakan produk sosial, “...social space is a social product” (Lefebvre, 1991:26). Suatu ruang tidak dapat hadir sendiri secara alamiah, melainkan dikondisikan secara sosial-politis, diproduksi oleh pelbagai persepsi, pengetahuan dan relasi aktor yang berkepentingan. Tesis pendek itu merupakan fondasi untuk memahami seluruh bangun pikir Lefebvre, sekaligus bagian terpenting karya yang menerangkan kapitalisme dalam perspektif berbeda dari Karl Marx. 

Pikirannya meneropong perkembangan “tercanggih” kapitalisme melalui praktek perebutan ruang, bukan semata melalui relasi produksi dan eksploitasi borjuis (kelas atas) terhadap proletar (kelas bawah). Kata “produksi” dalam Lefebvre berbeda maknanya dengan gagasan Marx. Bagi Marx, produksi mensyaratkan adanya buruh dan majikan dalam suatu sistem relasi eksploitasi atau penghisapan tenaga kerja. Lain halnya Lefebvre yang secara filosofis maupun sosial-politis melihat produksi berdasarkan proses abstraksi terhadap ruang (Lefebvre, 1991:388-391). Melalui ruang abstrak, ruang kemudian ditafsirkan menurut kepentingan-kepentingan subjek atau kelompok-kelompok yang memiliki pengetahuan, sistem dan kekuatan-kekuatan tertentu merebut dominasi. Dengan lain kata, ruang dilihat sebagai “locus of production” sekaligus cara mengartikulasikan “komoditas” yang diproduksi karena mewadahi seluruh praktek dan perubahan tindakan masyarakat.

Pemahaman tentang produksi ruang ini mengikuti dinamika perubahan mode of production ketika globalisasi dan urbanisasi terus menyentuh kehidupan manusia, pada saat bersamaan mengaburkan batas-batas konkrit ruang kota dan desa, dimana modernisme dan hasrat kapitalistik memberlakukan proses penyeragaman jaringan, makna, maupun kapital, turut serta mewujudkan pergeseran perilaku masyarakat dan reproduksi sosial, ekonomi dan politik. Yang luput dari bidikan Marx adalah peran ruanglah yang mewadahi seluruh proses tersebut. Maka, Lefebvre merasa perlu mengalihkan konsentrasi untuk melihat bagaimana kapitalisme bekerja. 

Beliau merevisikan Marx secara egaliter dan rasional dimana ia menyentil perubahan mode of production pada keberadaan ruang yang diterjemahkan memiliki nilai guna (Lefebvre, 2009:186-187 dan 216-219). Kalau Marx bilang nilai guna barang (komoditi) tercipta melalui relasi eksploitasi dalam pabrik atau industri/perusahaan/sistem tertentu, Lefebvre akan menjawab relasi itu tidak akan bisa berlangsung tanpa adanya ruang yang mewadahi proses produksi nilai guna. Lefebvre meneguhkan kita berpikir memahami pergeseran objek nilai guna dari produksi komoditas dalam ruang (Marx) ke produksi ruang itu sendiri, “the production of things in space, to the production of space itself” (Lefebvre, 2009:186). Ruang adalah komoditi itu sendiri yang diperebutkan setiap saat. 

Triad Conceptual

Bagaimana cara memahami produksi ruang dalam masyarakat kota multikultur seperti di kota Ternate? Lefebvre (1991:38-39) memberi jawaban identifikasi dengan menawarkan tiga gagasan inti yang disebut triad conceptual. Tiga bentuk relasi sekaligus merupakan rangkain bagaimana ruang diproduksi secara sosial. Pertama, praktik spasial (spatial practices) adalah ruang dimana individu dan kelompok sosial terlibat dalam transaksi hubungan spasial menghidupi objek dan produk secara berbeda. Artikulasi atas ruang mewujud dalam bentuk kegiatan yang paling real. Tingkat kohesivitas ruang ditentukan dari derajat kompetensi dan tindakan sosial pelbagai aktor yang melibatkan dirinya ke dalam proses. Melalui keterlibatan spasial dengan macam-macam keperluan inilah, masyarakat melakukan dan mengalami secara esensial apa yang disebut “ruang yang dihidupi’ (lived space)

Kedua, representasi ruang (representations of space), adalah ruang dalam konsepsi para aktor atau subjek perencana kota, arsitek, para ilmuwan, seniman, teknokrat dan sebagainya. Representasi ruang memiliki penekanan makna-makna, jaringan, tanda-tanda yang diseragamkan  dengan pola “artikulasi” tertentu lewat suatu dominasi struktur. Oleh karena diproduksi demikian, dalam ruang ini sebetulnya mengaksentuasi kepentingan ideologis tertentu dalam rangka akumulasi. Pola-pola hubungan didalamnya didasarkan pada bentuk “penyeragaman” lewat ide, sistem dan pengetahuan. Ini adalah ruang yang dikonsepsi (conceived space) dimana pada umumnya kapitalisme berkembang dari sini.

Ketiga, ruang representasional (representation space) adalah kebalikan dari representasi ruang. Jika representasi ruang ditentukan oleh kelompok dominan, maka ruang representasional mengalir dari pemahaman, persepsi, dan pengalaman hidup sehari-hari penghuni ruang. Melalui ruang ini, orang-orang mengartikan, mempersepsikan kenyataan sejarah, identitas, kebebasan, maupun makna perjuangan hidup mereka ke dalam hubungan dialektis bersama praktik spasial dan representasi ruang. Ruang representasional muncul sebagai bentuk penegasan eksistensi terhadap ciri dan “keunikan” suatu komunitas dan masyarakat yang berurat-akar secara historis maupun sosiologis. Lefebvre menamakan ini ruang yang dipersepsi (perceived space).

Akan tetapi dalam dialektika ketiga ruang itu, Lefebvre melihat representasi ruang (representations of space) mendominasi kedua ruang lainnya (Ritzer dan Goldman, 2016: 166-167). Yang artinya pemanfaatan dan pembentukan sebuah ruang menurut pengalaman hidup warga, sejarah maupun identitasnya tidak terwujudkan dalam kenyataan relasi spasial kota. Ini bertemali pada kecenderungan kota-kota modern lebih memproteksi kebijakan publik ke dalam gaya metropolitan dan kontinental, yang berujung pada proses mengakomodasi kapital (ekonomi) dengan relasi-relasi politis dan kapitalistik. Pembangunan wilayah dan tata kelola ruang di Kota Ternate beberapa tahun belakangan mencerminkan proses tersebut.

Masalah Kota dan Dermaga Hiri

Perhatikanlah cara pemerintah “mengabstraksikan” atau “mempersepsikan” ruang melalui regulasi Perda No. 2 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Ternate. Kita tidak menemukan keberpihakan pada “ruang-ruang representasional” (yang menghargai pengalaman warga dan sejarah suatu ruang). Dari segi perencanaan wilayah, pemerintah terlanjur mendesain kota ini bergaya “kontinental” dan “terpusat”, yang justru bertentangan dengan tujuan pasal 2 perda RTRW yang mengakui secara geografis maupun antropologis masyarakat Ternate yang berdimensi kepulauan/kepesisiran. Akibatnya, di dalam praktik spasial atas ruang bukanlagi terjadi “distribusi ruang” secara adil, melainkan bergerak dalam semangat “meminggirkan” karena “memperebutkan” dan “menguasai” ruang. 

Lefebvre percaya konstruksi suatu ruang dapat mempengaruhi cara berpikir maupun tindakan manusia. Kecenderungan ke arah pembentukan ruang kota modern akan memaksakan warga pada pola-pola kompetisi yang berdasar kerangka persaingan ekonomi semata. Reklamasi pantai di sepanjang pesisir Ternate Tengah, Selatan (dan Utara) menjadi contoh dari hasil abstraksi itu. Warga dipaksa menyesuaikan dengan kebijakan struktural karena sebelumnya telah dikondisikan. Kekhawatiran Lefebvre mengenai dampak “penghancuran lingkungan” akibat proses abstraksi ruang menemukan momentum di Ternate. Dimana lingkungan pesisir di Kec. Ternate Pulau mengalami abrasi dan sedimentasi akibat reklamasi di belahan lain kota.  

Pohon Mangrove di sepanjang pesisir Mangga Dua ikut ditebas secara brutal tanpa ada kajian ekosistem dari pemerintah secara manusiawi, diperparah ketika dinas terkait sama sekali tidak mengantongi data sebaran Pohon Mangrove di pesisir Ternate (Cermat, 17/8/2019). Ekosistem kota Ternate karena itu dirusaki secara struktural. Kerusakan ini menghasilkan protes warga karena di satu sisi ruang-ruang kesejarahan mereka lenyap dan ekosistem laut pesisir ikut terjarah  (Tonton Film Dokumenter; Menimbun Ternate (2021), besutan Rajif Duchlun).  Maka, banjir Rob yang menghantam wilayah pesisir Ternate (Kel. Rua, Afe Taduma, Sulamadaha, Dufa-Dufa, Sangaji, Salero, Falajawa, Mangga Dua, Kota Baru, Pulau Hiri) beberapa waktu lalu dapat juga dipahami sebagai “efek domino” dari penutupan pesisir Ternate, selain sebagai fenomena oseanografi. 

Ketika saya observasi lapangan pada tahun 2017, perda RTRW sedang direvisi, namun hingga 2021 tidak ada dokumen publikasi yang menggambarkan hasil revisiannya. Sementara direvisi, dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sudah melakukan Uji Publik Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (RDTR-PZ). Ini artinya, tidak ada kesinambungan antara RTRW sebagai dokumen induk dan RDTR-PZ sebagai dokumen operasional di Kota Ternate. Berdampak tata ruang kota pada tingkatan terbawah “amburadul” dan upaya “abstraksi” dan penataan kawasan ekonomi ditentukan oleh kekuatan kapital dan supremasi birokrasi di kota ini. Penataan ruang di dalam dan di luar pasar Higienis, Barito dan Pasar Tradisional Bahari Berkesan misalnya, serta pemanfaatan ruang reklamasi (Kota Baru-Mangga Dua dan di Salero-Soasio/ruas Jln Sultan Iskandar Muhammad Djabir) mengakomodasi pola-pola interaksi spasial yang tidak lepas dari hitungan ekonomi-politik. 

Semisal oknum pemerintah dari dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Ternate yang begitu beraninya “berdagang” kios kepada pedagang tertentu dengan patokan harga mulai Rp 30 juta, Rp 80 Juta, hingga Rp100 juta tanpa melihat aspek keadilan sosial-ekonomi di dalam tata ruang pasar. Termasuk menjual lapak dan emperan dengan variasi rupiah, dari Rp3 Juta, Rp5 juta, hingga belasan juta tanpa kwitansi (Jazirah.id, 21/9/2021).  Dan beberapa waktu lalu, saya dapat curhatan seorang pedagang (via Whatsapp) bahwa dirinya memberikan jaminan sejumlah uang kepada oknum pengelola pasar, tetapi karena pasar tidak ditata secara teratur, maka ruang/lapak yang disewakan tidak bisa difungsikan secara efektif. Kebanyakan mereka lebih memilih jualan di ruang terbuka dan masih saja diperhadapkan dengan “pungutan ini itu” dari oknum-oknum “berdasi.” Ruang pasar dan ruang reklamasi dalam konteks ini menjadi locus of production karena merupakan komoditi di kota Ternate dalam arti Lefebvre.

Hubungan ekonomis-politis di atas, bermuara pada konflik penataan dan perebutan ruang pasar antara sesama pedagang dan pedagang-pemerintah Kota Ternate tak terelakkan (Kumparan.com, 6/9/2021). Ibarat bom waktu yang siap meledak kapan saja. Fungsi ekonomi politik dari ruang kembali bertemu dalam praktik spasial kota. Bagi Lefebvre, ruang bukanlah sesuatu yang netral dalam arti; pertama, ruang memainkan peran sebagai kekuatan produksi. Kedua, ruang menjadi komoditas yang dikonsumsi. Ketiga, ruang dapat mengontrol sistem. Keempat, ruang memperkuat reproduksi hubungan produktif dan hak milik. Kelima, sebagai suprastruktur yang terlihat netral tapi sebenarnya menyembunyikan basis ekonomi yang memunculkannya (Ritzer dan Goldman, 2016: 169). 

Tak tanggung, imingan pertumbuhan ekonomi mendorong kota Ternate terus memperlihatkan citra “glamor” dan relasi produksi yang bertujuan memamerkan ruang modern. Seperti pembangunan Plaza Gamalama di zona ekonomi (A) Ternate Tengah mereduksi ikon historikal masyarakat Maluku Utara; Pasar Tradisional Gamalama. Di satu sisi meminggirkan praktek spasial pedagang pakaian dan Pedagang Kaki Lima (PKL) dari seputaran itu, di sisi lain secara bertentangan meneguhkan pelabelan warga di belakangnya sebagai kawasan permukiman kumuh (SK Walikota Ternate No. 6/II.4/KT/2017 Tentang Penetapan Lokasi Perumahan Kumuh di Kota Ternate). 

Proses pelabelan kumuh dan tidak kumuh berpangkal dari program penyesuaian struktural dari Kementerian PUPR yang pada tahun 2016 memperkenalkan program “Kotaku” (kota tanpa kumuh) yang menggamit anggaran dari World Bank dan Asian Development Bank (kotaku.pu.go.id). Maka wacana dan pelabelan kawasan kumuh mengandung interseksi dengan aliran modal, mendepak warga kota dari kebebasan dan kebahagiaan mereka menghidupkan praktik spasial. Mereka harus “dipindahkan” untuk alasan keindahan kota. Pada saat bersamaan, dibangunlah gedung modern untuk dapat disebut maju atau berkembang. Suatu ironi paling nyata karena ruang representasional yang mengaliri pengalaman hidup dan perasaan bahagianya telah dirampas secara sistematis dan terstruktur.  

Memori kolektif atas ruang historis Gamalama ditiadakan melalui kekuatan simbolisme modern Plaza. Pendiriannya seakan menjadi pembenaran mutlak atas ide kapitalis, bahwa kota ideal dan sejahtera adalah kota yang dikembangkan sedemikian rupa berdasarkan  kekuatan kapital yang dimobilisasi ke dalam ruang publik. Reproduksi ruang dari pasar Tradisional Gamalama ke Plaza Gamalama Modern bersama logika Multiyears di kota Ternate, menegaskan argumen bahwa perubahan suatu ruang senantiasa diikutsertakan dengan wujud material yang menjadi ciri dari suatu produksi (Lefebvre, 1991:53).

Walaupun ada kerusakan lingkungan pesisir akibat tata ruang, kerja teknokrat dan pengetahuan para perencana kota tidak hentinya membuka pintu aliran modal ke dalam peruntukkan lahan kota. Hasilnya,  terdapat modal yang diperkirakan senilai 300 Milyar lebih dari PT WIJAYA KARYA (WIKA) untuk pembangunan rumah sakit baru di wilayah “pusat” Kota Ternate. Adalah kerjasama pemerintah ANDALAN dan PT bersangkutan (kumparan,com. 17/11/2021). Rencana ini berkonsekuensi pada tiga hal. 

Pertama, dari segi politik penganggaran, akan menguras belanja modal dalam skema APBD Kota Ternate karena pemerintah harus mengembalikan dana PT WIKA. Jika demikian, akan berpengaruh pada pemangkasan anggaran untuk item lain pembangunan yang lebih mendasar. Kedua, dari segi sosio-antropologi, alih-alih membuka pelayanan kesehatan, rencana ini secara mendasar mengabaikan “basis material” yang mengkondisikan mentalitas masyarakat kota Pulau seperti Ternate, karena dibangun di atas ruang reklamasi. Oleh karenanya, turut serta berkontribusi terhadap ketercerabutan mental kepulaun, perebutan dan kepadatan ruang di wilayah yang disebut pusat kota. Ketiga, secara sosio-spasial dan pengembangan wilayah, reproduksi di kecamatan Ternate Tengah-Selatan semakin menegaskan ketimpangan dan diskriminasi wilayah dalam aspek pelayanan publik, karena pada bagian wilayah kecamatan Ternate Utara-Kota Ternate Baru-Pulau Ternate, Pulau Hiri-Batang Dua (termasuk Moti) tidak diseriusi untuk pemerataan pembangunan. 

Faktanya,wilayah-wilayah ini kehilangan fokus pemerintah dalam produk kebijakan publik karena dianggap tak punya kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik. Politik pembangunan kota pada kenyataannya memusatkan seluruh kekuatan dan dominasi secara spasial di wilayah Tengah dan Selatan. Terekam jelas dalam Perda RTRW  pada bagian “wilayah strategis” dan “pengembangan ruang ekonomi baru”, dan pemerintah “mematok-matok” kepentingan itu ke dalam desain BWK I. BWK II dan BWK III (Lihat lampiran PERDA RTRW dan Dokumen RDTR-PZ). 

Contoh ketidakseriusan pemerintah mengatasi ketimpangan wilayah dapat diperiksa melalui perjuangan masyarakat Pulau Hiri menuntut pembangunan Dermaga. Sejak 2014, gabungan tokoh masyarakat, pemerintah dan pemuda berusaha menyuarakan kebutuhan ini. Pada tahun 2017-2018 dibangun sebuah dermaga di Jikomalamo. Biaya proyek ini senilai 800 Juta, pembangunan ditangani oleh seorang pengusaha lokal. Tetapi setelah dibangun, dermaga ini tak dapat difungsikan. Semula mau dijadikan pelabuhan penyeberangan, justru wilayah ini berubah menjadi destinasi wisata, yang diawali dengan “pengkaplingan” lokasi dan perombakan bentangan alam di sisi barat lokasi dermaga oleh kontraktor yang sama,  (Lamau, 2018). 

Sebuah kejanggalan, pada wilayah yang sama, pengkaplingan dilakukan oleh mantan “Kapolda Maluku Utara” di bagian Selatan. Pemerintah dan masyarakat semakin tak berdaya.  Secara politik, kontraktor memiliki kekuatan melalui anaknya (Merlisa Marsaoly) yang waktu itu menjabat sebagai ketua DPRD Kota Ternate, dan tentu, pemerintah selalu mengandalkan kontraktor ini dalam setia proyek besar kota. Sederhananya, dia berkuasa secara ekonomi-politik. Inilah alasan kenapa pemerintah tak mempermasalahkan alih fungsi wilayah ini dari pelabuhan ke destinasi wisata. Masalahnya, Perda RTRW sejak awal tidak mengakomodasi peruntukkan lahan ini sebagaimana diperlukan menurut kebutuhan-kebutuhan warga. Maka Jikomalamo menjadi “hak milik pribadi” karena kekuatan kapital dan dermaga terbangun itu sekedar menjadi lokasi “selfie” para wisatawan.

Bertahun-tahun masyarakat Hiri dibiarkan pemerintah tanpa kejelasan. Terjadi demonstrasi tahun 2020 oleh gabungan pemuda Hiri, elemen gerakan mahasiswa Maluku Utara, serta camat dan lurah se pulau Hiri, menghasilkan MoU membangun dermaga di Sulamadaha. Lagi-lagi, hingga memasuki 2022 ini, janji berganti janji terus menghantam telinga warga. Ketika penggunaan anggaran APBD induk 2021 tidak memenuhi target 30 persen membangun (Breakwater) di akhir tahun ini, pemerintah justru menunjukkan “kekebalan berbohong” kepada masyarakat. Terlihat dari  belum adanya Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) dermaga Hiri di PUPR untuk tahun 2022 (Halmaherapost.com, 24/12/2021). Artinya, kebutuhan warga Hiri terancam gagal dipenuhi tahun depan. 

Kasus dermaga Hiri menandakan bobroknya kerja birokrasi kota, sekaligus melebarkan ketimpangan dalam pengembangan wilayah di kota Ternate. Secara struktural, tarikan pendulum dari konflik ini bertolak dari penciptaan dan dominasi “ruang representasi” di wilayah Tengah dan Selatan, oleh karena pemerintah menaruh keberpihakan wilayah itu sejak dalam regulasi dan mekanisme tata ruang.  Bagi Lefebvre, Negara senantiasa menciptakan ruang-ruang dominan (representasi ruang) yang dimaksudkan memperkuat pola relasi Negara dan pemilik modal di dalam mendemonstrasikan kepentingan mereka melalui penguasaan ruang (Lefebvre, 2009: 212-116). Dalam kondisi seperti ini, keadilan wilayah dalam kota terasa begitu sulit diterima. Kita sesungguhnya butuh  gerakan baru  dengan metode yang berdimensi sosio-spasial.

Memperjuangkan Hak Atas Kota

Lefebvre bukanlah intelektual menara gading. Bekas anggota Partai Komunis Perancis ini tidak kalah serius dalam soal kontribusi kemanusiaan dengan rekan-rekan sezaman seperti Michael Foucault, Jean Paul Sartre, atau Louis Althusser. Kegelisahan Lefebvre terhadap situasi destruksi atas ruang  dan lingkungan hidup mengantarkannya bergerak secara praksis-politik. Dimana ia mendemonstrasikan gagasan ditengah kondisi ketercerabutan hak asasi manusia di kota akibat reproduksi ruang kapitalis, sebagai lanjut globalisasi dan urbanisasi di seluruh penjuru ruang, harus direspon melalui gerakan sosial politik dalam rangka  memperjuangkan kepentingan bersama. Ia menyebutnya right to the city (Hak Atas Kota/Hak Atas Kehidupan Urban).  

Hak Atas Kota menjadi jalan meniti keadilan warga untuk keluar dari dominasi ruang abstrak atau representasi ruang (representations of space). Supaya dapat menggerakkan ide ini, Lefebvre menganjurkan terdahulu melampaui konsepsi  yang sekedar memandang “hak” secara terbatas, melainkan adalah suatu langkah transformasi dan terus diperbaharui ke seluruh lapisan kepentingan. Saya kutip bahasa rigitnya begini;

“The right to te city cannot be conceived of as a simple visiting right or as a return to traditional cities. It can only be formulated as a transformed and renewed right to the city”(Lefebvre, 2000: 158)

Menyadari bahwa kota-kota tengah diperhadapkan dengan kontradiksi praktik spasial, yang berarti proses “penyeragaman” persepsi, jaringan dan akumulasi dalam satu skema modern-kapitalistik, maka Lefebvre menaruh keberpihakan mentransformasi kepentingan warga selalu paralel dengan kehendak merubah kota itu sendiri, the Urban Revolution (Lefebvre, 2003). Dengan demikian, memperjuangkan Hak Atas Kota berarti memetakan, mengembalikan kehidupan warga secara kesetaraan dan penuh penghargaan atas keunikan dan keberagaman ruang kehidupan didalamnya. Lefebvre memformulasikannya sebagai perubahan dari contradictions space to differential Space,” dimana kota yang cenderung menyeragamkan kepentingan masyarakat melalui contradictions space mengakibatkan hilangnya keragaman ruang (Lefebvre, 1991: 398). Oleh karena differential space (keragaman ruang) hilang, dapat berarti kedaulatan warga (multikultur, multi-kepentingan) yang bersifat komunal ikut lenyap dalam segenap perjuangan hidup di perkotaan. 

Namun, perlu ditegaskan, merubah kota bukan berarti mengarahkan kehidupan sekadar memastikan hirarki geografis, karena kota senantiasa mengandung seluruh sistem dinamis produksi sosial didalamnya dengan derajat interaksi dan perubahan yang kompleks melingkupi ruang dan waktu (Lefebvre, 2000: 103-104). Merubah kota atau revolusi kaum urban (the urban revolution) karena itu, bermakna merevolusi kebijakan publik, merubah sistem, melakukan penataan ruang secara egalitarian dan penuh penghargaan kepada kelompok-kelompok kewargaan didalamnya tanpa pilih kasih, tanpa melihat mereka “tim sukses” atau bukan, tanpa memelihara segregasi sosio-spasial sebagai penguat pembedaan kelas-kelas sosial dan etnisitas. 

Terhadap semua itu, kita butuh melakukan pengorganisasian rakyat (Ternate) berdasar perasaan, pengetahuan dan kesadaran bersama (common sense) atas hak memanfaatkan ruang kota. Para pejabat dan teknisi perencana kota yang merupakan aktor pemegang kebijakan harus menyadari betapa Ternate mengalami krisis. Mereka mesti mengakarkan setiap produk kebijakan tata ruang yang berbasis data, dalam arti memperhatikan ekosistem pesisir, menghargai pluralitas warga, mengurangi ketimpangan wilayah, membuka akses dan kesempatan selebar-lebarnya kepada PKL dan seluruh penghuni kota untuk ikut membentuk apa yang disebut Lefebvre sebagai urban reality (realitas perkotaan) atau urbanism (kehidupan urban) secara adil dan manusiawi. 

Dalam keberpihakan itulah, sosiolog Universitas Gadjah Mada menegaskan “karena itu, revolusi urban juga berkenaan dengan upaya untuk mengubah instrumen politik di mana kebijakan yang dihasilkan mengutamakan upaya memperjuangkan kedaulatan bagi kehidupan yang lebih layak untuk setiap orang” (Pamungkas, 2016). Maka sudah saatnya kita merintis gerakan sosial transformatif yang tidak bersifat “momentum dan seremonial” semata. Suatu gerakan berkesinambungan yang tidak terpaku pada “branding berganti branding” dari waktu ke waktu. Jika tidak, kita sebagai warga, seolah-olah “dilibatkan,”  hanya menjadi “korban” dari deretan “politik segregasi” dan supremasi pasar kapital yang kian menggurita secara sosio-spasial. Kedaulatan ruang kita telah “dilipat-lipat,” kita harus mencari keadilan, memperjuangkan Hak Atas Kota.[] 

Selamat Wange Madadi Ternate ke-771. 

Wawan Ilyas

 

Sumber buku

Lefebvre, Henri, 1991. The Production of Space. Oxford UK & Cambridge USA. Blackwell

______________2009. State, Space, World: Selected Essays. London: University of Minnesota Press

______________2003. The Urban Revolution. Minneapolis. University of Minnesota Press

______________2000. Writings on Cities. USA. Blackwell

Ritzer , George dan Douglas J. Goldman, 2016. Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori Neo-Marxian. Bantul. Kreasi Wacana.

Sumber lain

Duchlun, Rajif, 2021. “Menimbun Ternate” (Film Dokumenter) dalam https://www.youtube.com/watch?v=16Uo5T-hi3U.

Pamungkas, Arie Setyaningrum, 2016. Produksi Ruang dan Revolusi Kaum Urban Menurut Henri Lefebvre. Dalam https://indoprogress.com/2016/01/produksi-ruang-dan-revolusi-kaum-urban-menurut-henri-lefebvre/.

“Manggrove yang Tersisa di Kota Ternate.” Dalam https://kumparan.com/ceritamalukuutara/mangrove-yang-tersisa-di-ternate-1rgRDToBZiA.

“Tunjukkan Aksi Protes: Pedagang di Ternate Hamburkan Sayur,” dalam https://kumparan.com/ceritamalukuutara/tunjukkan-aksi-protes-pedagang-di-ternate-hamburkan-sayur-1wTYexDLfxj/full.

 “Oknum Pejabat Disperindag ‘Berdagang Kios’ di Pasar,” dalam  https://jazirah.id/2021/09/21/oknum-pejabat-disperindag-ternate-berdagang-kios-di-pasar/?amp.

“Pemkot Siapkan Regulasi Soal Pembangunan Rumah Sakit Baru.” Dalam https://kumparan.com/ceritamalukuutara/pemkot-ternate-siapkan-regulasi-soal-pembangunan-rumah-sakit-baru-1ww9OvADIOC/full. 

Dokumen Pelaksanaan Anggaran Dermaga Hiri Belum Dikantongi PUPR Ternate. Dalam  https://halmaherapost.com/2021/12/24/dokumen-pelaksanaan-anggaran-dermaga-hiri-belum-dikantongi-pupr-ternate/. 

PERDA No. 2 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Ternate 2012-2032

SK Walikota Ternate No. 6/II.4/KT/2017 Tentang Penetapan Lokasi Perumahan Kumuh di Kota Ternate

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Imanensi dalam Jou Se Ngofa Ngare yang Transendental oleh Wawan Ilyas

Sebuah catatan: Gamsungi (bagian II)